Kamis, 16 April 2009

Rambu Solo'

MENGUPAS SECARA MENDALAM ADAT MASYARAKAT TORAJA

KHUSUSNYA RAMBU SOLO’

Upacara adat

Di wilayah Kabupaten Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu solo’ (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu solo’ diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

Rambu Solo

Adalah sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi.

Tingkatan upacara Rambu Solo

ü Upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni:

ü Dipasang Bongi: Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja.

ü Dipatallung Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.

ü Dipalimang Bongi: Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan.

ü Dipapitung Bongi:Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan.

Upacara tertinggi

Biasanya upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya setahun, upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dalam pelaksanaannya bertempat disekitar Tongkonan keluarga yang berduka, sedangkan Upacara kedua yakni upacara Rante biasanya dilaksanakan disebuah lapangan khusus karena upacara yang menjadi puncak dari prosesi pemakaman ini biasanya ditemui berbagai ritual adat yang harus dijalani, seperti : Ma'tundan, Ma'balun (membungkus jenazah), Ma'roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), Ma'Parokko Alang (menurunkan jenazah kelumbung untuk disemayamkan), dan yang terkahir Ma'Palao (yakni mengusung jenazah ketempat peristirahatan yang terakhir).

Nilai Tradisi Vs Keagamaan

Dalam kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Prinsipnya, selama tidak ada orang yang bisa menahan Matahari terbenam di ufuk barat, kematian pun tak mungkin bisa ditunda.

Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.

"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat, yang dalam stratifikasi penganut kepercayaan Aluk Todolo mendapat sebutan Ne’ Sando.

Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.

Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga

Jika ada bagian-bagian yang dilanggar, katakanlah bila yang meninggal dunia itu dari kaum bangsawan namun diupacarakan tidak sesuai dengan tingkatannya, yang bersangkutan dipercaya tidak akan sampai ke puyo. Rohnya akan tersesat. Sementara bagi yang diupacarakan sesuai aluk dan berhasil mencapai puyo, dikatakan pula bahwa keberadaannya di sana juga sangat ditentukan oleh kualitas upacara pemakamannya. Dengan kata lain, semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.

To na indanriki’ lino

To na pake sangattu’

Kunbai lau’ ri puyo

Pa’ Tondokkan marendeng

Yang artinya:

Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.

Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.

Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.

Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.

Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini, seperti dikutip oleh M Ghozali Badrie dalam penelitiannya tentang "Penyimpanan Mayat di Tana Toraja", supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.

Berbagai kegiatan budaya yang menarik dipertontonkan pula dalam upacara ini, antara lain :

© Ma'pasilaga tedong (Adu kerbau), kerbau yang diadu adalah kerbau khas Tana Toraja yang memiliki ciri khas yaitu memiliki tanduk bengkok kebawah ataupun [balukku', sokko] yang berkulit belang (tedang bonga), tedong bonga di Toraja sangat bernilai tinggi harganya sampai ratusan juta; Sisemba' (Adu kaki)

© Tari tarian yang berkaitan dengan ritus rambu solo’ seperti : Pa'Badong, Pa'Dondi, Pa'Randing, Pa'Katia, Pa'papanggan, Passailo dan Pa'pasilaga Tedong; Selanjutnya untuk seni musiknya: Pa'pompang, Pa'dali-dali dan Unnosong.;

© Ma'tinggoro tedong (Pemotongan kerbau dengan ciri khas masyarkat Toraja, yaitu dengan menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas), biasanya kerbau yang akan disembelih ditambatkan pada sebuah batu yang diberi nama Simbuang Batu.

Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja. Ke-sulitan pembiakan dan kecenderungan untuk dipotong sebanyak-banyaknya pada upacara adat membuat plasma nutfah (sumber daya genetika) asli itu terancam kelestariannya.

Menjelang usainya Upacara Rambu solo’, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta yang sekaligus menandakan selesainya upacara pemakaman Rambu solo’.

Pemakaman

Peti mati yang digunakan dalam pemakaman dipahat menyerupai hewan (Erong). Adat masyarakat Toraja adalah menyimpan jenazah pada tebing/liang gua, atau dibuatkan sebuah rumah (Pa'tane).

Beberapa kawasan pemakaman yang saat ini telah menjadi obyek wisata, seperti di :

§ Londa, yang merupakan suatu pemakaman purbakala yang berada dalam sebuah gua, dapat dijumpai puluhan erong yang berderet dalam bebatuan yang telah dilubangi, tengkorak berserak di sisi batu menandakan petinya telah rusak akibat di makan usia. Londa terletak di desa Sandan Uai Kecamatan Sanggalai' dengan jarak 7 km dari kota Rantepao, arah ke Selatan, Gua-gua alam ini penuh dengan panorama yang menakjubkan 1000 meter jauh ke dalam, dapat dinikmati dengan petunjuk guide yang telah terlatih dan profesional.

200px-Tengkorak_londa

Tengkorak di bebatuan gua, Londa, 2008

§ Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, yang merupakan kuburan alam yang dipahat pada abad XVI atau setempat disebut dengan Liang Paa'. Jumlah liang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang-lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.

§ Tampang Allo yang merupakan sebuah kuburan goa alam yang terletak di Kelurahan Sangalla' dan berisikan puluhan Erong, puluhan Tau-tau dan ratusan tengkorak serta tulang belulang manusia. Pada sekitar abad XVI oleh penguasa Sangalla' dalam hal ini Sang Puang Manturino bersama istrinya Rangga Bualaan memilih goa Tampang Allo sebagai tempat pemakamannya kelak jika mereka meninggal dunia, sebagai perwujudan dari janji dan sumpah suami istri yakni "sehidup semati satu kubur kita berdua". Goa Tampang Alllo berjarak 19 km dari Rantepao dan 12 km dari Makale.

§ Liang Tondon lokasi tempat pemakaman para Ningrat atau para bangsawan di wilayah Balusu disemayamkan yang terdiri dari 12 liang.

§ To'Doyan adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi (anak yang belum tumbuh giginya). Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi.

§ Patane Pong Massangka (kuburan dari kayu berbentuk rumah Toraja) yang dibangun pada tahun 1930 untuk seorang janda bernama Palindatu yang meninggal dunia pada tahun 1920 dan diupacarakan secara adat Toraja tertinggi yang disebut Rapasan Sapu Randanan. Pong Massangka diberi gelar Ne'Babu' disemayamkan dalam Patane ini. tau-taunya yang terbuat dari batu yang dipahat . Jaraknya 9 km dari Rantepao arah utara.

§ Ta'pan Langkan yang berarti istana burung elang. Dalam abad XVII Ta'pan Langkan digunakan sebagai makam oleh 5 rumpun suku Toraja antara lain Pasang dan Belolangi'. Makam purbakala ini terletak di desa Rinding Batu dan memiliki sekian banyak tau-tau sebagai lambang prestise dan kejayaan masa lalu para bangsawan Toraja di Desa Rinding Batut. Dalam adat masyarakat Toraja, setiap rumpun mempunyai dua jenis tongkonan tang merambu untuk manusia yang telah meninggal. Ta'pan Langkan termasuk kategori tongkonan tang merambu yang jaraknya 1,5 km dari poros jalan Makale-Rantepao dan juga dilengkapi dengan panorama alam yang mempesona.

§ Sipore' yang artinya "bertemu" adalah salah satu tempat pekuburan yang merupakan situs purbakala, dimana masyarakat membuat liang kubur dengan cara digantung pada tebing atau batu cadas. Lokasinya 2 km dari poros jalan Makale-Rantepao.

Tempat upacara pemakaman adat

"Rante"

Rante yaitu tempat upacara pemakaman secara adat yang dilengkapi dengan 100 buah menhir/megalit yang dalam Bahasa toraja disebut Simbuang Batu. 102 bilah batu menhir yang berdiri dengan megah terdiri dari 24 buah ukuran besar, 24 buah ukuran sedang dan 54 buah ukuran kecil. Ukuran menhir ini mempunyai nilai adat yang sama, perbedaan tersebut hanyalah faktor perbedaan situasi dan kondisi pada saat pembuatan/pengambilan batu.

Megalit/Simbuang Batu hanya diadakan bila pemuka masyarakat yang meninggal dunia dan upacaranya diadakan dalam tingkat Rapasan Sapurandanan (kerbau yang dipotong sekurang-kurangnya 24 ekor).

Tau-tau

Tau-tau adalah patung yang menggambarkan almarhum. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur Rapasan (pelengkap upacara acara adat), ialah pembuatann Tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat. Mata dari Tau-tau terbuat dari tulang dan tanduk kerbau. Pada jaman dahulu kala, Tau-tau dipahat tidak persis menggambarkan roman muka almarhum namun akhir-akhir ini keahlian pengrajin pahat semakin berkembang hingga mampu membuat persis roman muka almarhum.